Al-Ustadz Muhammad bin 'Umar As-Sewed Hafidzahullah Ta'ala
Kaum reaksioner khawarij selalu beralasan bahwa kita dalam situasi perang, maka semua orang kafir adalah kafir harby yang layak dibunuh. Sedangkan perang adalah tipu daya, sehingga boleh berbohong, berdusta dan mengingkari perjanjian dengan alasan sebagai strategi perang.
Lalu mencemooh ahlus sunnah dengan para ulamanya dengan ungkapan-ungkapan seperti: "Sekarang bukan masanya fiqh, tetapi masa bertempur!"
Atau seperti ucapan mereka: "Sampai kapan kita akan bicara thaharah dan nifas?!",
Atau ucapan mereka lainnya: "Islam ini tidak akan jaya dengan "haddatsana", tetapi dengan mengangkat senjata". Yakni tidak akan jaya dengan meriwayatkan hadits-hadits.
Atau ucapan mereka: "Sekarang tidak perlu Riyadlus Shalihin, tapi yang diperlukan adalah "rudalus shalihin"".
Dan ungkapan-ungkapan lain yang sinis terhadap ilmu fiqh dan hadits atau kitab Riyadlus Shalihin yang ditulis oleh Imam Nawawi رحمه الله serta kajian-kajian ilmiah para ulama dan para ustad ahlus sunnah.
Maka kita katakan kepada mereka: Apakah perang dalam Islam tidak ada fiqhnya? Apakah jihad tidak memiliki aturan dan hukum-hukum yang tentunya bersumber dari hadits-hadits dan riwayat yang tertulis dalam kitab para ulama?
Sungguh perang dalam Islam adalah ibadah yang memiliki aturan dan hukum-hukum. Jika kita lihat satu hadits saja tentang hukum-hukum perang, maka kita akan lihat betapa banyak yang dilanggar oleh kaum reaksioner pengikut hawa nafsu dan emosi tersebut.
Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayah-nya dari Aisyah رضي الله عنه ia berkata: Bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم jika mengutus seorang komandan yang membawa sebuah pasukan besar atau kecil, beliau mewasiatkan kepadanya untuk bertakwa kepada Allah dan mewasiatkan kepada kaum muslimin dengan kebaikan. Kemudian beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: "Berperanglah dengan nama Allah! Di jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan mencuri rampasan perang, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh dan jangan membunuh anak-anak!. Jika kalian menemui musuh kalian dari kalangan musyrikin, maka ajaklah mereka kepada tiga perkara --Jika mereka menerima salah satunya, maka terimalah dan berhentilah (tidak memerangi)--: ajaklah kepada Islam. Kalau mereka mengikuti ajakanmu, maka terimalah mereka dan tahanlah peperangan. Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka menyambut ajakanmu, maka terimalah dan ajaklah untuk pindah (hijrah) dari desa mereka ke tempat muhajirin (Madinah). Kalau mereka menolak, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa mereka dianggap sebagai orang-orang arab gunung (nomaden) yang muslim. Tidak ada bagi mereka bagian ghanimah (pampasan perang) sedikit pun kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Kalau mereka menolak (untuk masuk Islam), maka mintalah dari mereka untuk membayar jizyah (upeti) (sebagai orang-orang kafir yang dilindungi). Kalau mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Allah untuk menghadapi mereka kemudian perangilah.
Jika engkau mengepung penduduk suatu benteng, kemudian mereka menyerah dan ingin meminta jaminan Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kau lakukan. Tetapi jadikanlah untuk mereka jaminan kalian, karena jika kalian melanggar jaminan-jaminan kalian itu lebih ringan daripada kalian menyelisihi jaminan Allah. Dan jika mereka menginginkan engkau untuk mendudukkan mereka di atas hukum Allah, maka jangan kau lakukan. Tetapi dudukkanlah mereka di atas hukummu karena engkau tidak tahu apakah engkau menepati hukum Allah pada mereka atau tidak. (HR. Muslim dalam Kitabul Jihad bab Ta’mirul Imam no. 1731)
Dalam hadits di atas kita mendapatkan banyak faedah tentang aturan-aturan perang yang menunjukkan rahmat Islam pada seluruh manusia, di antaranya:
- Diperintahkan agar komandan dan pasukannya betakwa kepada Allah سبحانه وتعالى.
- Mengikhlaskan niat untuk berperang karena Allah bukan karena harta dunia atau kedudukan, bukan pula untuk rebutan kekuasaan.
- Dilarang mencuri rampasan perang. Yaitu mengambil pampasan perang untuk pribadinya sebelum dibagi secara syar'i oleh komandannya.
- Tidak mengingkari perjanjian yang telah dibuat antara kaum muslimin dengan orang kafir, kecuali jika mereka yang mulai melanggarnya, seperti perjanjian antara kaum muslimin dan Yahudi di Madinah, atau perjanjian Hudaibiyah antara kaum muslimin dan kaum musyrikin Qurais dan sekutuya.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para shahabatnya tidak melanggar perjanjian Madinah hingga kaum Yahudi Bani Quraidah berkhianat. Demikian pula Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para shahabatnya tidak melanggar perjanjian Hudaibiyah hingga musyrikin Quraisy sendiri yang membatalkannya.
- Tidak boleh merusakan jasad musuh. Yakni musuh yang telah mati terbunuh, tidak boleh dicacati, apakah dengan dicongkel matanya, dipotong hidungnya, kemaluannnya dan lain-lainnya walaupun dengan alasan menghinakan orang kafir. Semua itu dilarang dalam Islam.
- Tidak membunuh anak-anak, karena mereka bukan umur perang.
Kami kira aturan ini dikenal banyak manusia bahkan dalam hukum "positif" orang-orang kafir sekalipun.
Termasuk yang tidak boleh dibunuh dalam perang selain anak-anak adalah wanita, orang tua renta dan para pekerja, buruh dan petani yang tidak ikut andil dalam peperangan.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah صلى الله عليه وسلم berjalan bersama pasukannya. Kemudian beliau melihat orang-orang berkerumun pada sesuatu, maka beliau mengutus seseorang untuk melihatnya. Ternyata didapati seorang wanita yang terbunuh oleh pasukan terdepan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid رضي الله عنه, maka Rasulullah bersabda: Pergilah kepada Khalid dan katakanlah kepadanya : "Sesungguhnya Rasulullah melarang engkau membunuh dzurriyah (wanita dan anak-anak) dan pekerja. (HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda: Katakan kepada Khalid: Jangan ia membunuh wanita dan pekerja. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Thahawi. Lihat Ash-Shahihah karya Syaikh Al-Albani 6/314)
- Menawarkan tiga pilihan kepada musuh sebelum berperang:
a. Mengajak kepada Islam. Jika mereka mau menerima Islam, maka berhentilah peperangan. Dan ajaklah untuk hijrah dari negeri mereka ke negeri kaum muslimin. Kalau mereka tidak mau hijrah, maka status mereka seperti orang-orang arab gunung (nomaden) yang muslim.
b. Jika mereka tidak mau menerima Islam, maka ajaklah untuk tunduk pada negara kaum muslimin dan membayar upeti (jizyah) sebagai orang kafir dzimmi yang dilindungi.
c. Jika mereka menolak jizyah, maka berarti memilih yang ke tiga yaitu perang. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: "Kalau mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Allah dan perangilah!".
- Jika mereka meminta jaminan, maka berikan jaminan kalian secara pribadi, jangan mengatasnamakan Allah, yakni jangan memberi jaminan Allah. Karena kalau kalian melanggar jaminan kalian lebih ringan daripada melanggar jaminan Allah.
Demikian pula ketika mereka meminta dihukumi dengan hukum Allah, maka katakanlah bahwa ini hukum yang kami putuskan, karena belum tentu kalian menepati hukum Allah.
Faedah terakhir ini memiliki makna yang sangat dalam. Karena kita diperintahkan untuk tidak menjatuhkan nama Allah dan nama Islam dengan perbuatan atau keputusan kita. Sehingga walaupun kita sudah berupaya untuk memutuskan sesuai dengan dalil-dalil dari Allah dan rasul-Nya, tapi tetap kita katakan kepada musuh-musuh kita bahwa ini adalah keputusan kami. Dengan kata lain ini ijtihad kami, sehingga kalau ternyata salah, maka itu kekeliruan kita, karena kurang memahami makna ayat dan hadits. Kalau tepat kita bersyukur kepada Allah.
Berbeda dengan orang-orang yang sombong dan terlalu berani mengatasnamakan Allah atau Islam terhadap perbuatan yang mereka lakukan. Mereka membantai dan membunuh anak-anak serta para wanita, mengacau di mana-mana kemudian berkata: "Inilah Islam", "Inilah perintah Allah", yang ternyata mereka salah memahami arti jihad, salah memahami ayat dan hadits. Akibatnya orang-orang kafir dan orang-orang bodoh mengira bahwa Islam itu kejam, sadis, tidak punya perikemanusiaan. Sehingga jatuhlah nama Islam, karena perbuatan bodoh kelompok-kelompok sempalan yang menyimpang dari Islam tersebut.
Silahkan mereka periksa "jihad" mereka, apakah sudah mencocoki aturan-aturan sunnah di atas? Atau mereka sengaja ingin merusak gambaran Islam yang adil dan bijaksana?
Maka para pemuda-pemuda muslim yang berjalan dengan emosinya dan tidak mau mengikuti bimbingan ayat-ayat dan hadits di atas, mereka bukan pengikut sunnah (ahlus sunnah), tapi pengikut emosi (ahlul ahwa). Yang mencoreng dan mengotori gambaran Islam yang akhirnya bertentangan dengan tujuan dakwah Islam itu sendiri.